Ditemukannya
sejuhlam identitas ganda yang dimiliki sejumlah teroris dan anggota masyarakat
yang sempat diperiksa kepolisian, pemalsuan paspor oleh para penjahat kerah
putih, serta kasus surat “peringatan” dari Direktorat Pajak belum lama ini yang
ternyata banyak salah sasaran memiliki benang merah yang sama. Hal-hal tersebut
menghangatkan kembali diskursus tentang buruknya tata kependudukan di Indonesia.
Berbagai anomali administrasi itu mengindikasikan tidak adanya kesungguhan dalam merapikan data kependudukan yang sesungguhnya sangat penting. Data yang ada ternyata tidak akurat, tidak relevan, dan tidak diintegrasikan oleh instansi-instansi terkait. Akibatnya, pada level pemerintahan, nyaris tidak ada manfaatsama sekali yang bisa diperoleh dari data kependudukan tersebut. Pada saat yang sama masyarakat sudah kadung memandang sinis bahwa surat-surat kependudukan bahkan yang paling mendasar sekalipun (Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, dan Surat Izin Mengemudi) dianggap sebagai sesuatu yang kegunanaannya tidak lebih dari “sekedar jaga-jaga saat ada insfeksi”.
Problem-problem
diatas, dapat teratasi lewat pembangunan tata pemerintahan, termasuk kependudukan,
berbasis elektronik (electronic based government, e-government). Secara
pragmatis, e-government dapat meningkatkan efisiensi sekaligus menekan praktek
penyimpangan administrasi negara. Lebih mendasar lagi,dari kaca mata politik
demokrasi, melalui tiga kerangka kerjanya, yang terdiri atas e-government
consultation, dan e-decision-making, komitmen dan keberhasilan pemerintah suatu
negara, dalam menyelenggarakan e-government dapat dijadikan indikator kesediaan
pemerintah tersebut dalam berbagi informas dan pengetahuan dengan warganya.
Secara lebih mendalam departemen instansi pemerintah dalam mempersiapkan visi dan misi kebijaka teknologi informasi, lebih melihat pada faktor equity (menjadikan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi penggunaan umum). Dibandingkan dengan keempat faktoryang lainnya yaitu demokratisasi, transparansi, akuntabilitas dan globalisasi. Untuk mencapai target penerapan teknologi informasi yang efektif perlu diadakan komputerisasi pemerintahan atau e-government dan sumber daya manusia dan pendidikan. Alasannya karena penerapan teknologi informasi akan menjadi optimal apabila Am/pengetahuan para pemakai atau pengguna jasa teknologi benar-benar memahami teknologi sehingga sasaran penerapan teknologi informasi tercapai.
Secara lebih mendalam departemen instansi pemerintah dalam mempersiapkan visi dan misi kebijaka teknologi informasi, lebih melihat pada faktor equity (menjadikan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi penggunaan umum). Dibandingkan dengan keempat faktoryang lainnya yaitu demokratisasi, transparansi, akuntabilitas dan globalisasi. Untuk mencapai target penerapan teknologi informasi yang efektif perlu diadakan komputerisasi pemerintahan atau e-government dan sumber daya manusia dan pendidikan. Alasannya karena penerapan teknologi informasi akan menjadi optimal apabila Am/pengetahuan para pemakai atau pengguna jasa teknologi benar-benar memahami teknologi sehingga sasaran penerapan teknologi informasi tercapai.
Kendati
e-Government diyakini andal, penelitian yang dilakukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa terhadap 21 instansi pelayanan publik nasional di 919 negara
(pada 2003) menemukan bahwa pembangunan e-government bukanlah perkara
penyediaan perangkat teknologi semata. Masalahyang lebih kompleks justru
berkutata pada penyiapan sumber daya manusia, yakni para pengguna (anggota
masyarakat) dan penyedia sekaligus pengolah informasi (instansi pelayanan
publik).
Dari
sisi pengguna syarat paling mendasar bagi keberhasilan teknologi informasi,
komunikasi yang signifikan dikalangan masyarakat. Lebih luas lagi information
Cociety Comission (2003) menyebutkan bahwa kesiapan e-government dapat
diantimasi berdasarkan posisi atau suatu negara pada Human Development Index (HDU).
Menjadikan HDI sebagai dasar untuk mengukur kesiapan Indonesia dalam ber e-government tampaknya menghasilkan gambaran yang tidak begitu menggembirakan. Meskipun menunjukkan peningkatan pada sejumlah indikator kesejahteraan manusia, posisi Indonesia pada 2004, dibandingkan dengan 2003 hanya naik satu anak tangga ke peringkat 111 dari sekitar 170 yang diteliti. Ini berarti masih dibutuhkan upaya keras jangka panjang guna memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia, sebagai persyaratan langsung bagi e-participation.
E-participation
bermakna sebagai derajat keikutsertaan masyarakat dalam kedudukannya selaku
subyek sekaligus objek e-government. Subyek dalam pengertian bahwa masyarakat
merupakan pihakyang memiliki kesempatan dan inisiatif untuk mempengaruhi
pemerintah dalam perumusan berbagai kebijakan publik. Dan obyek dengan makna
bahwa kebijakan-kebijakan itu pada gilirannya akan dikenakan pada seluruh
masyarakat juga.
Secara simultan e-government juga mengaharuskan adanya kesediaan dan kepastian generik aparat pelayanan publik dalam mengelola informasi demi kepentingan para stakeholder. Dimilikinya situs resmi oleh hampir semua instansi pemerintah pada kenyataannya tidak disertai oleh pengelolaanyang konsisten terhadap situs-situs tersebut. E-information berkualitas rendah akibat situs yang hanya berisikan informasi usang. Beragam masukan juga tidak ditanggapi dengan baik, dan segera yang menyebabkan e-consultation tidak berjalan dengan semestinya.
Saat
e-information dan e-consultation tidak terealisasi, e-decision making lebih
parah lagi. Situs tidak berfungsi optimal sebagai media interaktif antara
masyarakat dan para pelayannya. Akibatnya manfaat situs-situs pelayanan publik
itu terhadap proses demokratisasi pun sangat rendah karena tidak mendorong
masyarakat untuk aktif urun rembuk dalam peningkatan kualitas pelayananserta
penyusunan dan perubahan kebijakan publik.
Keberadaan
e-government akan berimbas pada dimensi sumber daya manusia disetiap pelayanan
publik. Tidak tertutup kemungkinan akan meruyaknya kekhawatiranyang disebabkan
oleh rasionalisasi jumlah karyawan. Karyawan yang dinilai tidak memiliki
kesediaan dan kemampuan generik untuk menjalankan e-government akan berhadapan
dengan dua resiko; diberhentikan (retrenchment) atau menjadi pelatihan dalam
rangka membentuk kompetensi lunak (soft compentencies) dan keterampilan
kerjaserta mengintegrasikan diri kedalam struktur informasi yang baru.
Sementara kompetensi lunak berfokus pada mentalitas kerja, pelatihan keterampilan kerja dipusatkan pada bidang berteknologi informasi dan komunikasi, manajemen proyek, manajemen perubahan,serta kemampuan membangun kemitraan. Terkait dengan begitu pentingnya penyiapan para aparat pelayanan publik, Information Society Commision (2003) menegaskan, kepemimpinan memainkan peran sangat penting dalam menciptakan atmosfer positif bagi perubahan birokrasi kantor-kantor pemerintah. Dengan lompatan kuantum kearah implementasi e-government kita bisa berharap,tata pemerintahan dan kependudukan di Indonesia akan berlangsung lebih demokratis, efisien, dan bersih.
0 komentar:
Posting Komentar